Minggu, 20 Februari 2011

Akherat Hidup Sebenarnya

Ajaran Islam merupakan ajaran yang lengkap dan sempurna. Tidak semata urusan dunia yang menjadi perhatian ajaran Islam, melainkan kehidupan setelah kematian pun mendapat perhatian dan penjelasan lengkap. Betapa tidak, ajaran Islam datang dan bersumber dari Allah Swt. Yang Mahatahu perkara nyata maupun ghaib.

Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS 59: 22)

Di dalam memandang kehidupan, seorang Muslim takkan pernah menjadikan dunia semata sebagai pertimbangan satu-satunya dalam mengambil keputusan dan melangkah. Ia selalu menjadikan faktor akhirat dan kehidupan setelah dunia fana ini sebagai pertimbangan yang bahkan lebih utama. Hal ini pula yang menjadikan jiwanya senantiasa merasa tentram dan dadanya lapang.

Seorang mukmin yang selalu mengingat kehidupan abadi akhirat akan menjadi manusia yang berwawasan sangat luas dan tidak pernah bersempit dada dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini. Jika ia meraih keberhasilan dalam hidupnya ia tak pernah menjadi sombong apalagi lupa diri. Ia menjadi manusia yang kian bersyukur dan mendekatkan diri kepada sumber keberhasilan tersebut, yakni Allah Swt. Dan kenikmatan apa pun yang ia terima di dunia tak akan menjadikannya tenggelam dalam euphoria sebab ia tahu bahwa masih ada kenikmatan yang bakal jauh lebih dahsyat dan lebih pantas ia terobsesi untuk mengejarnya, yakni jannah (surga) di akhirat nanti.

Bila ia memperoleh kegagalan atau ditimpa musibah, ia tak pernah menjadi sedih berlebihan apalagi sampai berputus asa. Ia segera bersabar dan memohon kesabaran tersebut kepada sumbernya, yakni Allah Swt. Dan derita apa pun yang dialaminya di dunia takkan pernah membuatnya frustrasi sebab ia tahu bahwa masih ada derita yang jauh lebih dahsyat dan hakiki yang sepatutnya ia sungguh-sungguh hindari, yakni naar (api neraka) di akhirat kelak. Seorang Muslim sadar sepenuhnya akan misi hidupnya sebagaimana dikatakan oleh sahabat Rib'iy bin Amer r.a. tatkala berhadapan dengan Panglima Rustum dari Persia yang menanyakan apa misi umat Islam:

"Kami diutus Allah untuk mengeluarkan manusia dari sempitnya dunia kepada lapangnya dunia dan akhirat."

Maka, dalam konteks dakwah, pengetahuan dan keyakinan seorang Muslim akan kehidupan sesudah kematian menjadi motivatornya dalam berdakwah. Nasib seorang mukmin di dalam kubur penuh dengan kebahagiaan. Sedangkan nasib seorang kafir penuh siksaan di dalam kuburnya.

dikutip dari buku : Risalah Menuju Jannah karya Ustadz Ihsan Tandjung dengan pengurangan seperlunya (tulisan beliau panjang lebar, jadi terpaksa dipotong)

Sabar Menghadapi Cobaan

Ketahuilah, semua yang terjadi di alam ini telah ada ketetapannya. Allah telah menetapkan takdir seluruh makhluk, semenjak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Allah telah menetapkan takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. (HR. Muslim)

Dalam kaitan ini, maka wajib bagi seluruh manusia untuk beriman kepada takdir Allah, yang baik maupun yang buruk. Allahlah yang telah membagi rezeki, menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji hamba-Nya, menentukan apakah seorang hamba tersebut termasuk yang bahagia atau sengsara ketika di dunia. Allah juga telah menetapkan ajal seseorang, dan memastikan pula tempat tinggalnya di akhirat kelak, surga ataukah neraka. Semua yang terjadi adalah berdasarkan iradah-Nya, kehendak Allah.

Kemudian, sebagaimana yang kita rasakan, manusia hidup di dunia ini, tak pernah lepas dari kesusahan, kesengsaraan dan kesedihan. Ini semua merupakan ujian yang selalu datang silih berganti. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. 2: 155).

Hikmah yang bisa diambil dengan adanya berbagai cobaan ini, ialah untuk membedakan antara orang yang benar dan orang yang dusta dalam pengakuannya terhadap keimanan kepada Allah. Allah berfirman:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia menge-tahui orang-orang yang dusta.” (QS. 29:2-3).

Dengan adanya cobaan, maka seseorang akan mengetahui tentang dirinya dan hakikat keimanannya. Seseorang tidak bisa mengaku telah benar-benar beriman kepada Allah, sebelum datang ujian kepada dirinya dan ia mampu untuk bertahan dengan kesabaran.

Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang menginginkan selalu mendapatkan kekekalan dan kesejahteraan tanpa merasakan cobaan, maka dia belum memahami hakikat hidup dan penghambaan diri kepada Allah.”

Begitu pula dengan seorang mukmin. Dia pun mendapatkan ujian, dan tidak lain kecuali sebagai tarbiyah, bukan sebagai siksa. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan ujian, baik dalam keadaan suka maupun duka.

“Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. 7: 168).

Sesuatu yang kita benci terkadang membawa kebaikan, dan sesuatu yang kita sukai terkadang berujung dengan kesengsaraan. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan kita dalam firman-Nya.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;” (QS. Al Baqarah/2: 216)

Sumber : Taushiyah online dengan editing